Rabu, 21 Januari 2009

wajah suram mahkamah agung

Wajah Suram Mahkamah Agung


Peradilan di Indonesia nampaknya semakin sering mendapat pemberitaan negatif. Citra peradilan Indonesia pun makin suram dari waktu ke waktu. Kepercayaan masyarakat akan lembaga peradilan Indonesia juga semakin luntur. Dari lembaga-lembaga peradilan di Indonesia, nampaknya Mahkamah Agung (MA) menjadi salah satu lembaga yang paling kontroversial dan berperan besar dalam memperburuk citra peradilan dan hukum di Indonesia.
Salah satu permasalahan yang menimbulkan polemik baru-baru ini adalah mengenai Rancangan Undang-undang Mahkamah Agung (RUU MA). RUU MA ini rencananya akan segera disahkan dalam sidang paripurna DPR. Perpanjangan usia pensiun Hakim Agung dari 67 tahun menjadi 70 tahun menjadi hal yang banyak mendapat kecaman dari banyak pihak dalam RUU ini.
Perpanjangan usia pensiun ini memperlihatkan bahwa peradilan di Indonesia tidak menunjukkan progresivitas atau semangat pembaharuan ke arah yang lebih baik. Selain kemampuan fisik dan psikis yang jelas akan semakin menurun di atas usia 65 tahun, perpanjangan usia pensiun ini akan menghambat regenerasi Hakim Agung, karena para Hakim Tinggi yang notabene lebih muda, lebih enerjik, dan lebih idealis dan berintegritas akan sulit untuk menempati posisi Hakim Agung karena senior mereka belum juga dipensiunkan walupun telah melampaui usia produktif. Perpanjangan usia pensiun ini nantinya cenderung memberikan absolute power bagi para Hakim Agung dan hal ini ditakutkan rawan akan korupsi maupun lobi-lobi penyelesaian perkara oleh pihak yang berkepentingan. Selain itu para Hakim Agung yang telah memasuki usia uzur dan masih menjabat sampai sekarang sebenarnya memiliki kinerja yang kurang baik sehingga akan menjadi tindakan yang tidak efisien dan merupakan pemborosan untuk tetap mempertahankan mereka dengan perpanjangan usia pensiun ini.
MA menjadi lembaga yang makin memprihatinkan karena terkesan menjadi tidak bisa tersentuh atau diawasi oleh lembaga apapun. Perseteruan antara MA dan Komisi Yudisial (KY) adalah contoh dari sifat MA yang untouchable itu. MA melakukan penolakan atas pengawasan hakim termasuk hakim agung yang dilakukan oleh KY. Perseteruan ini sampai ke tingkat Mahkamah Konstitusi yang akhirnya karena usaha dari MA dengan mekanisme judicial review , kewenangan KY bagaikan diamputasi karena undang-undang KY tentang mekanisme pengawasan ini dirubuhkan dengan alasan inkonstitusional.
Contoh yang lain adalah perselisihan antara MA dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). MA tidak berkenan diaudit keuangannya oleh BPK karena ada perbedaan pendapat antara keduanya mengenai biaya perkara. BPK berpendapat bahwa biaya perkara merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sehingga biaya perkara dapat menjadi objek auditnya dan seharusnya biaya ini disetorkan ke negara, sedangkan MA berpendapat bahwa biaya perkara adalah biaya yang dititipkan pihak yang berperkara yang akan dikembalikan apabila berlebih sehingga belum termasuk kategori uang negara. Keduanya pun saling mempunyai landasan hukum atas pendapatnya. BPK berpengangan pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang BPK, sedangkan MA berpedoman pada peraturan Herziene Indische Reglement(HIR) dan Rechtsreglement Buiten gewesen (RBg) dan substansi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP).
Keburukan-keburukan MA seharusnya menyadarkan pemerintah bahwa inilah saatnya untuk melakukan restrukturisasi birokrasi di tubuh MA dan lembaga peradilan lainnya. Regenerasi sangat diperlukan untuk membawa peradilan kita menuju perubahan yang benar-benar baik karena diharapkan para penegak hukum muda yang memiliki semangat dedikasi tinggi dan idealisme yang mantap dapat menampilkan wajah baru peradilan Indonesia yang lebih bersih, jujur, dan benar-benar menjunjung keadilan.





Maaf jika postingan kurang up 2 date. Terimakasih untuk semua sumber tulisan ini... VIVA JUSTICIA

Tidak ada komentar: