Rabu, 21 Januari 2009

BIROKRASI DI INDONESIA????????

Seperti yang kita ketahui dan alami selama ini bahwa pelayanan public atau birokrasi dalam pemerintahan negeri ini banyak mendapat kecaman dari masayarakat sendiri dikarenakan pelayanan birokrasi Indonesia amatlah buruk.
Menurut Dwight Y. King, birokrasi di Indonesia mempuyai ciri-ciri : mekanisme kerja yang tidak efisien, proses pelayanan yag lambat dan berbelit-belit,jumlah pegawai yang berlebihan, dan rentan penyalahgunaan wewenang seperti KKN.
Kurangnya realisasi nilai-nilai good governance (akuntabilias, transparansi ,efisiensi dan efektifitas, profesionalisme, penegakan hukum, kesetaraan, responsive, pengawasan, wawasan ke depan) dalam pemerintahan menjadi salah satu faktor penyebab buruknya birokrasi di Indonesia.
Oknum birokrasi sering kali kurang memperhatikan nilai-nilai sosial dalam masyarakat, mereka terpancang pada aturan yang berlaku, padahal sebuah aturan kadang bersifat subjektif, bahkan kadang terasa tidak bersifat populis atau berpihak pada rakyat. Mereka kurang bertindak dengan nurani( moral-etis) atau tindakan yang lebih rasional dalam suatu kondisi. Yang terjadi malah tindakan mempersulit masyarakat lemah dan mempermudah masyarakat yang mempunyai kepentingan yang dapat menguntungkan oknum-oknum tersebut. Dan kadang birokrasi hanya menjadi alat kepntingan politis saja, dan melupakan aspek pelayan pelayan kepada rakyat. Hal inilah yang kadang dapat menimbulkan konflik atau hubungan yang tidak harmonis (gap) antara masyarakat dan birokrat.
Sistem birokrasi seperti ini jelas tidak dapat dibiarkan lebih lama meracuni tatanan masyarakat kita, terutama hal ini menyangkut pelayanan masyarakat, dimana masyarakat benar-benar “memerlukan sesuatu” yang mana harus terlayani dengan baik oleh system birokrasi kita dengan memperhatikan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan dengan birokrasi yang lebih berpihak pada rakyat.
Seharusnya, para pelayan publik harus sadar dan bekomitmen bahwa masyarakat telah mempercayakannya sebagai pelayan, birokrat harusnya memiliki mental yang kuat dalam mengabdi, sopan santun, harga diri, sifat jujur, cerdas, bijak, dan bijaksana, serta tidak melakukan “kebohongan publik” dengan sifat “melayani, bukan dilayani”. Adanya UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN, dari perspektif etika merupakan kemajuan yang sangat bagus dan hal pelayanan public ini.Para birokrat juga seharusnya benar-benar memahami dan berusaha mewujudkan prinsip good governance dalam pelayanan public,sehingga birokrasi dapat berfungsi maksimal dan benar-benar berkualitas.
Dalam pelayanan ini seharusnya dibarengi dengan revisi aturan yang lebih jelas dan lebih pasti, atau dengan kata lain aturan harus benar-benar memperhatikan aspek keadilan dan kebijaksanaan dalam pelayanan,dan pelaksanaanya pun harus dijalankan dengan baik, transparan dan mengacu pada pola good governance seperti yang telah dijelaskan diatas.


Dalam prakteknya, kadang birokrasi menghadapi situasi yang memerlukan kebijakan khusus. Seperti dalam keadaan darurat. Pemerintah ataupun system birokrasi dituntut untuk dapat memberikan pelayanan dengan lebih bijak. Aturan yang semula menjadi acuan yang bersifat kaku, harusnya dapat lebih bersifat fleksible dengan melihat kondisi yang terjadi. Birokrasi harusnya juga menggunakan nurani dalam melihat kepentingan masyarakat tanpa meninggalkan aspek rasionaloitas dan keadilan.
Masyarakat sendiri hendaknya harus dapat melihat dan menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Masyarakat harus kritis dalam hal ini, jangan mau hak kita ditekan dan dalam pemenuhannya dpersulit oleh birokrasi. Tapi masyarakat juga hendaknya harus memenuhi kewajiban ataupun peraturan yang berlaku dengan penuh kesadaran, tidak hanya asal menuntut atau memvonis birokrasi sebagai pihak yang bertanggung jawab atas semua.
Untuk meningkatkan kinerja birokrasi dan pelayanan pada masyarakat pemerintah telah melakukan berapa langkah konkret seperti lahirnya PP No. 41 tahun 2007 yang dimaksudkan untuk menata ulang struktur birokrasi pemerintahan daerah yang dinilai terlalu gemuk dan sangat tidak efektif, efisien, dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing. PP itu juga mendorong adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. PP baru tersebut merupakan pedoman bagi pemerintahan daerah agar membentuk organisasi pemerintahan yang efektif dan efisien, dan rasional sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah.
Salah satu kebijakan yang sangat responsif adalah Peraturan Mendagri No.24/2006 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Namun, dalam pelaksanaannya hanya beberapa daerah saja yang tergolong eksis, dan mampu merespon perubahan dan komitmen pada keunggulan pelayanan dengan membentuk kantor pelayanan terpadu diantaranya Kabupaten Sragen, Kabupaten Pare-Pare, Kabupaten Solok, Kota Dumai, Kota Pontianak, Kabupaten Takalar, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Kebumen. Dasar hukum kelembagaannya telah kuat karena diatur dalam peraturan daerah. Walaupun demikian, pelayanan ini telah terbukti lebih memudahkan bagi masyarakat serta lebih efektif dan efisien.
Dengan beberapa langkah tadi di harapkan ada feedback dari masyarakat dalam hal kesadarannya dalam memenuhi kewajiban atau aturan sehingga pelayanan dan pelaksanaan kewajiban serta hubungan antara oknum birokrasi (yang baik) dan masyarakat akan lebih harmonis demi terciptanya keadaan yang lebih baik.







Tabel : Model Perubahan Birorkasi Untuk Indonesia
Dimensi Model Lama Birokrasi Model Baru Birokrasi
Kultur dan struktur kerja Irasional –hirarkis Rasional-egaliter
Hubungan kerja Komando-intervensionis Partisipan –outonomus
Tujuan kerja Penguasaan, Pengendalian Publik Pemberdayaan Publik, Demokratisasi
Sikap terhadap publik Rent-seeking
(ekonomi biaya tinggi). Profesional pelayanan publik, transparansi biaya (public accountibility).
Pola Rekruitmen, pengawasan &Penghargaan Spoil System(Nepotisme, diskriminasi, reward berdasarkan ikatan primordial –suku, ras, agama) Merit System(pengangkatan karena keahlian, pengawasan kolektif, obyektif)
Model Pelayanan Tidak Ada Kompetisi dalam Pelayanan Kompetitif dalam Memberikan Pelayanan
Keterkaitan dengan Politik Birokrasi Berpolitik Netralitas Politik Birokrasi
Sumber: Syafuan (2000),. Jurnal Tranparansi Indonesia, hal. 6

Sumber- sumber :
http://thamrin.wordpress.com/2006/11/17/10-prinsip-good-governance/
http://www.ombudsman-asahan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=9
http://klipingut.wordpress.com/2007/12/18/birokrasi/

wajah suram mahkamah agung

Wajah Suram Mahkamah Agung


Peradilan di Indonesia nampaknya semakin sering mendapat pemberitaan negatif. Citra peradilan Indonesia pun makin suram dari waktu ke waktu. Kepercayaan masyarakat akan lembaga peradilan Indonesia juga semakin luntur. Dari lembaga-lembaga peradilan di Indonesia, nampaknya Mahkamah Agung (MA) menjadi salah satu lembaga yang paling kontroversial dan berperan besar dalam memperburuk citra peradilan dan hukum di Indonesia.
Salah satu permasalahan yang menimbulkan polemik baru-baru ini adalah mengenai Rancangan Undang-undang Mahkamah Agung (RUU MA). RUU MA ini rencananya akan segera disahkan dalam sidang paripurna DPR. Perpanjangan usia pensiun Hakim Agung dari 67 tahun menjadi 70 tahun menjadi hal yang banyak mendapat kecaman dari banyak pihak dalam RUU ini.
Perpanjangan usia pensiun ini memperlihatkan bahwa peradilan di Indonesia tidak menunjukkan progresivitas atau semangat pembaharuan ke arah yang lebih baik. Selain kemampuan fisik dan psikis yang jelas akan semakin menurun di atas usia 65 tahun, perpanjangan usia pensiun ini akan menghambat regenerasi Hakim Agung, karena para Hakim Tinggi yang notabene lebih muda, lebih enerjik, dan lebih idealis dan berintegritas akan sulit untuk menempati posisi Hakim Agung karena senior mereka belum juga dipensiunkan walupun telah melampaui usia produktif. Perpanjangan usia pensiun ini nantinya cenderung memberikan absolute power bagi para Hakim Agung dan hal ini ditakutkan rawan akan korupsi maupun lobi-lobi penyelesaian perkara oleh pihak yang berkepentingan. Selain itu para Hakim Agung yang telah memasuki usia uzur dan masih menjabat sampai sekarang sebenarnya memiliki kinerja yang kurang baik sehingga akan menjadi tindakan yang tidak efisien dan merupakan pemborosan untuk tetap mempertahankan mereka dengan perpanjangan usia pensiun ini.
MA menjadi lembaga yang makin memprihatinkan karena terkesan menjadi tidak bisa tersentuh atau diawasi oleh lembaga apapun. Perseteruan antara MA dan Komisi Yudisial (KY) adalah contoh dari sifat MA yang untouchable itu. MA melakukan penolakan atas pengawasan hakim termasuk hakim agung yang dilakukan oleh KY. Perseteruan ini sampai ke tingkat Mahkamah Konstitusi yang akhirnya karena usaha dari MA dengan mekanisme judicial review , kewenangan KY bagaikan diamputasi karena undang-undang KY tentang mekanisme pengawasan ini dirubuhkan dengan alasan inkonstitusional.
Contoh yang lain adalah perselisihan antara MA dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). MA tidak berkenan diaudit keuangannya oleh BPK karena ada perbedaan pendapat antara keduanya mengenai biaya perkara. BPK berpendapat bahwa biaya perkara merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sehingga biaya perkara dapat menjadi objek auditnya dan seharusnya biaya ini disetorkan ke negara, sedangkan MA berpendapat bahwa biaya perkara adalah biaya yang dititipkan pihak yang berperkara yang akan dikembalikan apabila berlebih sehingga belum termasuk kategori uang negara. Keduanya pun saling mempunyai landasan hukum atas pendapatnya. BPK berpengangan pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang BPK, sedangkan MA berpedoman pada peraturan Herziene Indische Reglement(HIR) dan Rechtsreglement Buiten gewesen (RBg) dan substansi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP).
Keburukan-keburukan MA seharusnya menyadarkan pemerintah bahwa inilah saatnya untuk melakukan restrukturisasi birokrasi di tubuh MA dan lembaga peradilan lainnya. Regenerasi sangat diperlukan untuk membawa peradilan kita menuju perubahan yang benar-benar baik karena diharapkan para penegak hukum muda yang memiliki semangat dedikasi tinggi dan idealisme yang mantap dapat menampilkan wajah baru peradilan Indonesia yang lebih bersih, jujur, dan benar-benar menjunjung keadilan.





Maaf jika postingan kurang up 2 date. Terimakasih untuk semua sumber tulisan ini... VIVA JUSTICIA

Rabu, 14 Januari 2009

Oe...ngeblog maneh yooo..

After a long long time I've been freezed...now it's time to...Shock this Fuckin underworld hahahahaha